Kabinet Kerja langsung menggebrak di bidang birokrasi. Pemerintah berencana menghentikan sementara (moratorium) rekrutmen CPNS baru mulai 2015. Tidak tanggung-tanggung, moratorium tersebut diberlakukan selama lima tahun.
Moratorium rekrutmen CPNS baru itu tentu bukan kebijakan populer dan berpotensi menuai respons negatif dari masyarakat. Sebab, selama ini lowongan CPNS dijadikan media mencari kerja, bukan sarana melayani masyarakat. Selain itu, masih banyak potensi kecurangan serta manipulasi kebutuhan riil aparatur pemerintah.
Rencana moratorium CPNS baru itu disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB), Yuddy Chrisnandi, Selasa, 28 Oktober. Kebijakan moratorium tersebut merupakan hasil koordinasi antara Yuddy dan Wapres, Jusuf Kalla. ’’Instruksi beliau (Wapres Jusuf Kalla, Red). Tentunya mendapat arahan dari Presiden Jokowi,’’ kata Yuddy.
Politikus Partai Hanura itu menyatakan, salah satu tugasnya sebagai menteri PAN-RB adalah mengawal rencana moratorium CPNS. Kebijakan moratorium tersebut merupakan hasil penghitungan rasio jumlah pegawai dengan penduduk Indonesia. ’’Jadi, harus dipastikan dulu. Misalnya, jumlah penduduk kita 250 juta, rasio ideal jumlah pegawai (PNS) berapa,’’ katanya.
Jumlah rasio secara nasional itu juga akan dikupas lagi di tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota. Dia mencontohkan jumlah ideal pegawai di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk 47 juta dan DKI Jakarta dengan jumlah penduduk 8 juta. Nah, selama penghitungan itu, penerimaan CPNS diestop lebih dahulu.
’’Rasio ideal, baik tingkat pusat maupun daerah, itu sedang dipelajari,’’ tegas menteri asal Bandung, tersebut.
Yuddy berharap dalam waktu singkat pemerintah bisa menghitung jumlah aparatur PNS yang dibutuhkan. ’’Apakah jumlah PNS yang (sekarang, Red) 4,6 juta ini kelebihan atau kekurangan,’’ katanya.
Dia juga menuturkan, kebijakan tersebut berlaku untuk mencegah instansi yang tiba-tiba mengusulkan formasi CPNS baru, padahal belum menghitung kebutuhan riilnya.
Dia menyatakan, inti pemberlakuan kebijakan moratorium tersebut bukan berarti menghentikan 100 persen rekrutmen CPNS seterusnya. Dia menganalogikan orang yang sedang berkendara menuju Monumen Nasional (Monas). Tiba-tiba, di tengah jalan, kendaraannya macet. Saat itu, si pengendara akan berpikir apakah terus melanjutkan perjalanan ke Monas atau balik kanan membatalkan perjalanan. ’’Inti moratorium itu adalah berpikir jernih,’’ tegasnya.
Terkait dengan urusan pendaftaran CPNS baru, pemerintah akan berpikir jernih apakah benar-benar membutuhkan pegawai baru atau tidak. Sebab, setiap pengadaan CPNS baru selalu berkaitan dengan uang negara yang tersedot untuk gaji pegawai.
Kebijakan moratorium itu juga akan dijalankan secara hati-hati dengan penuh pertimbangan. Kebijakan tersebut juga bertujuan memperbaiki pandangan masyarakat terhadap kinerja PNS yang masih dicap belum optimal.
Yuddy menegaskan, rencana moratorium tersebut tidak mengganggu tes CPNS yang sedang berjalan sekarang. Dia mengungkapkan, tes CPNS 2014 tetap dijalankan hingga tuntas. Rencana kebijakan moratorium rekrutmen CPNS baru dijalankan tahun depan. Tahun ini disiapkan 65 ribu kursi CPNS di instansi pusat atau daerah.
Rugikan Daerah
Sementara itu, kebijakan moratorium CPNS yang akan diterapkan pemerintah sebagaimana disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi bakal berdampak buruk bagi pemerintahan daerah. Penilaian tersebut disampaikan Kepala BKD Kota Makassar, Kasim Wahab.
Menurut Kasim, alasan pusat melakukan moratorium tersebut tidak mendasar. Jika asalan untuk mengefektifkan jumlah dan kualitas, pegawai itu tidak perlu dilakukan dengan menghentikan penerimaan CPNS dalam waktu cukup lama, yakni lima tahun.
“Pernyataan Pak Menteri saya kira perlu diklarifikasi. Moratorium perlu dikaji lebih mendalam. Sebab banyak daerah masih sangat butuh tenaga pegawia,” katanya.
Kasim memberi contoh untuk kondisi Kota Makassar. Ia menyebut, bulum masuk kebutuhan umum lainnya, Makassar saat ini masih sangat kekurangan tenaga guru, khususnya untuk pendidikan dasar. Begitu pun tenaga kesehatan yang masih dianggap kurang.
Guru honorer yang diandalkan saat ini pun tidak bisa bergantung padanya sepanjang masa. Mereka butuh diangkat atas pengabdiannya selama ini.
“Kepala sekolah pasti akan berteriak. Imbasnya lainnya, pendidikan kita akan stagnan, sebab kita kekurangan guru,” ujarnya. (jpnn-iad/ars-bas)